Provinsi Aceh atau yang pernah
dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam memiliki sejarah yang panjang dan terutama
dikaitkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di kawasan
tersebut.
Era Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di
Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923
M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia,
telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang
didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang
segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang
meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun
1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik
al-Saleh.
Samudera Pasai
Lahirnya Kerajaan Islam Samudera
Pasai
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya
(684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama
Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan makin kuat dan
daerahnya semakin meluas, setelah daerah kerajaan Melayu; Tulang Bawang, Pulau
Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya. Ketika Sriwijaya
sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendra Chola
dari Chola di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada
tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Dalam pertempuran, dinasti
Syailendra tidak mampu menahan serangan tentara India selatan ini, raja
Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke
negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha
ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah
kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan
diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.
Politik Samudera Pasai
bertentangan dengan Politik Gajah Mada
Gajah Mada yang diangkat sebagai
patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada
tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat
oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada
menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah
palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh
Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan dasar
sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan
melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350
Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah
mencapai kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27
tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377
giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai
negara Budha yang berpusat di Palembang ini.
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat
kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis
yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa
Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga
Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa
di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa
terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu,
ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian
menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan
nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya,
Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana)
sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam
rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh
karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga
saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Aceh melawan Portugis
Ketika kerajaan Islam Samudera
Pasai dalam krisis, maka kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Parameswara
(Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar
Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan
Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah
(1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573).
Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar
marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis
dapat ditangkisnya.
Pada abad ke-16, Ratu Inggris
yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir
James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada
Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”, serta seperangkat perhiasan yang tinggi
nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris
dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh.
Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang
gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan
tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yang
misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam
Raja James.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran
Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud
meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka
dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia
pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda
belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama
nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami
menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan
Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang
berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah
sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya
sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk
kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang
Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun
sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan
beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh.
Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.
Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa
kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima
kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh.
Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis
Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda
berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu
yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut
Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2
kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi
Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng
Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil
menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan
Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan
kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum
Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat
Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita
yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan
Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu,
Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang,
1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga
datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang
Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di
Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda,
Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di
Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju
Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman
untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki
Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak
campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Hubungan dengan Barat
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris,
Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan
Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh
Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala
itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim
hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat
yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun
dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan Aceh pun membalas surat
dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih
disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the
Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land
of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa
Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah
Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh
dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia.
Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran
Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud
meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka
dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia
pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda
belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama
Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami
mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Ottoman
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan
Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang
berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering
maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan
menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula
masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa
selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima
kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh.
Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan
cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang
memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan
Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua
kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh,
kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang
mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan
untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai
ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe).
Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan
Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan
kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum
Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat
Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita
yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan
Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu,
Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang,
1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut
hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan
seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita
di Aceh.
Datangnya pihak kolonial
Kesultanan Aceh terlibat
perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan
Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau
Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Perjanjian
Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di
Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni
mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan
Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari
mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Perang Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh
melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari
perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah
perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan
Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan
Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati
janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de
Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas
perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara
Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda
untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan
menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh
mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di
Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan
Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai
alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah
tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik.
Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler
dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan
Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya.
Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan
Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah
wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan
sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial
menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara
gerilya dan perang fi’sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini
dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda,
Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di
Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju
Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib
Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran
Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak
campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada
tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang
ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan
tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup
besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali
menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para
pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima
perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk
membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang
Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar
bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun
1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi
komandan perang gerilya.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang
ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan
dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar
serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini
ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di
pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil
kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu
disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye
kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu
Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum
ulama.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan
gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat
Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi
dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz
dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye
diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak
menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya
meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta
ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya
jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di
luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan
nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut
Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru
oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel
dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai
pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar
gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan
Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh.
Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van
Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah
pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan
diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri,
tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara
perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem
meletakkan senjata dan menyerah ke Lo’ Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem
menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak
Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan
dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen
yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904)
dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149
perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut
Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya,
dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa
Barat.
Surat Perjanjian Pendek Tanda
Menyerah Ciptaan Van Heutz
Van Heutz telah menciptakan surat
pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu
berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia
Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar
negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan
Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Bangkitnya Nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan
Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di
Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat
Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun
1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi
sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah
Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada
tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh,
menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama
mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat
dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku
Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik
sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia
dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat
mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan
mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda
dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan
Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan
para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang.
Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat
Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di
Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.
Masa Republik Indonesia
Aceh Tidak Termasuk Anggota
Negara-negara Bagian RIS
41 tahun kemudian semenjak
selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17
Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum
selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung
dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak
termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi
seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari: ~ Negara RI, yang meliputi daerah
status quo berdasarkan perjanjian Renville. ~ Negara Indonesia Timur. ~ Negara
Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta ~ Negara Jawa Timur ~ Negara Madura
~ Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan
Batu ~ Negara Sumatra Selatan ~ Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri,
seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. ~
Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yg terpilih menjadi Presiden RIS
adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16
Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi
Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta.
Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
Pengakuan Belanda Kepada
Kedaulatan RIS Tanpa Aceh
Belanda dibawah Ratu Juliana,
Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan
ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan
kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal
27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan
kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara
bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30
Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)
Kembali Ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah
RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang
Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS.
Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke
RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian
yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950
Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara
Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan
Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden
Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari
Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
Maklumat Negara Islam Indonesia
Aceh oleh Daud Beureueh
3 tahun setelah RIS bubar dan
kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia
di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah
sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah
sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada
seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar
dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam
Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan
keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus
seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus
berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko,
laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan
tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan mengadakan
Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar
bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan
Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman
Militer.
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang
dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan
keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam
djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin
keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk
melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri.
Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan
tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia Gubernur
Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja. MUHARRAM 1373 Atjeh Darussalam
September 1953
Daud Beureueh Menyerah kepada
Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962, 7 bulan
setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di
atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam
rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa
Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas
prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
Hasan Di Tiro Mendeklarasi Negara
Aceh Sumatera
14 tahun kemudian setelah Daud
Beureueh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada
tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi
deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.[1]
“ “Kepada rakyat di seluruh dunia:Kami, rakyat Aceh,
Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah
istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri
sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang
asing Jawa.Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua National Liberation Front
of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
4 Desember 1976″
”
“ “To the people of the world:We, the people of Acheh,
Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our
historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves
free and independent from all political control of the foreign regime of
Jakarta and the alien people of the island of Java.In the name of sovereign
people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National
Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4,
1976 ”
Akhir Konflik
Lihat pula: Operasi militer
Indonesia di Aceh (2003-2004)
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan
pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk
mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
Pada 26 Desember 2004, sebuah
gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat
Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu telah muncul
aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan
pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang
disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo
Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang
terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat
dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno,
Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan
wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11
kabupaten tadi dari Aceh.
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan
pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga
mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30
tahun.
Legenda Asal Usul Nama Aceh
Aceh merupakan sebuah nama dengan
berbagai legenda. Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh yang dirangkum dari
berbagai catatan lama.
Menurut H. Muhammad Said (1972),
sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional.
Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di
antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian
membuat wajah Aceh semakin majemuk.
Muhammad Said mengutip keterangan
dari catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang
Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir
terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah
asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.
Orang-orang Arab Saba mengangkut
rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari
pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah
tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
Namun, Raden Hoesein
Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid,
1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16
Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur
dan terpencar-pencar.
Sementara itu, HM. Zainuddin
(1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh
termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun,
Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak
dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.
Semua bangsa tersebut erat
hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah
sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh
Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua
Blah.
Letak kampung tersebut di atas
Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa
Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh
Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang
mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok
menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya
menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri.
Sementara orang Melayu
menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah
pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India
Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama
Bari.
Rouffaer, salah seorang penulis
sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang
salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih
suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
Sementara orang Arab menyebutnya
Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ;
orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda
menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh.
Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
Informasi tentang asal-muasal
nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih
banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di
antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke
Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini
disebut Krueng Aceh).
Para anak buah kapal (ABK) itu
pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan
tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji
kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah,
indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di
Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
Dalam versi lain diceritakan
tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang
budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas
sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho,
alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan
gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
Dalam cerita lain disebutkan, ada
dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil.
Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang
bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang
bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia
padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.”
Permintaan itu pun dikabulkan
oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia
pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian
(madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu
diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang
mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang
melahirkan).
Mitos lainnya menceritakan bahwa
pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu
sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang
oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian
ditabalkan menjadi nama Aceh.
Talson menceritakan, pada suatu
masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian
menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa
puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi
pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian
secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
Mitos lainnya yang hidup di
kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian,
yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu
disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
Kisah lainnya menceritakan
tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari
rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata
aceh bermakna tidak pecah.
Di kalangan peneliti sejarah dan
antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa
Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur
tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku
Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari
bangsa Khmer dari Hindia Belakang.