Peta Batavia (sekarang Jakarta)
tahun 1888
Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta pertama kali dikenal
sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa,
berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai
Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari
pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis,
Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam
teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat
ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa
Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan
Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5
sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan
merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini
dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari
Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan
ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian,
kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi
komoditas dagang saat itu.
Jayakarta (1527–1619)
Orang Eropa pertama yang datang ke
Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta
bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa
sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan
diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis
di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka
Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu
Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang
dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut
peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota
pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk sahbandar
pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan
tragedi penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan
mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti “kemenangan”.
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta
sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Pada 1619,
VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian
mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang
menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota,
Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka
berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Republik Rakyat Cina, dan pesisir Malabar,
India. Mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama
suku Betawi.
Pada tanggal 9 Oktober 1740,
terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan
terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari keluar kota dan
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir)
pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tahun 1910, Belanda
membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi
Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Di awal abad ke-20, Batavia di utara,
Koningspein, dan Mester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah
kota.
Djakarta (1942–1972)
Penjajahan oleh Jepang dimulai
pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati
penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki
Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Semenjak dinyatakan sebagai
ibukota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja
kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun
penduduknya berlipat lebih dari dua. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah
baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Rawamangun,
dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dilakukan secara mandiri
oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara lainnya, seperti Perum
Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno,
Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno,
Mesjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan
Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota,
menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman
besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah
(oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta
Selatan.
Banjir merupakan masalah
berkepanjangan yang terus melanda Jakarta.
Laju perkembangan penduduk ini
pernah dicoba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan
menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup” bagi pendatang. Kebijakan ini tidak
bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya.
Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang
terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan
alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan
di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki
oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah
turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).
Bahasa
Kerajaan Tarumanagara, yang
berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh
kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis
Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan
bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional. Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal
abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai
etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi
(kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama
sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol,
Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian
berubah menjadi Cideung dan terakhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih
sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang
digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Bahasa daerah juga digunakan oleh
para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang,
Batak, Madura, Bugis, dan juga Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta
adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai
suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.
Selain itu, muncul juga bahasa
gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang terkadang dicampur
dengan bahasa asing. Beberapa contoh penggunaan bahasa ini adalah Please dong
ah!, Cape deh!, dan So what gitu loh!.
Bahasa Inggris merupakan bahasa
asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan diplomatik, pendidikan,
dan bisnis. Bahasa Mandarin juga menjadi bahasa asing yang banyak digunakan,
terutama di kalangan pebisnis Tionghoa.
Budaya
Budaya Jakarta merupakan budaya
mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda,
Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari seluruh
Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang,
Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak
menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugal.
Suku Betawi sebagai penduduk asli
Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta
dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi
Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia
maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar
budaya di Situ Babakan.
Musik
Musik tradisional maupun modern
di Jakarta menggambarkan perpaduan antarbudaya dan etnis. Pengaruh dari luar
Indonesia berasal dari Belanda, Republik Rakyat Cina, Portugis, Arab dan India.
Untuk musik tradisional di
Jakarta, seperti tanjidor dan gambang kromong, terdapat pengaruh baik etnis
Sunda seperti penggunaan rebab dan terompet tradisional. Ada pula pengaruh
asing seperti halnya Trombone dan Gitar dari Eropa dan beberapa irama musik
tradisional Tionghoa.
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan
perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pada
awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tionghoa seperti
tariannya yang memiliki corak tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain
Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain
seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di
Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung juga dikenal
cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen yang mengisahkan jawara-jawara
Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal “keras”. Selain
mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai
Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah golok
yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Lain-lain
Selain budaya musik, tari-tarian
dan cerita rakyat, masyarakat Betawi juga mengenal seni lenong, topeng betawi
dan kesenian Si Janthuk yang kini sudah dianggap langka.
Kependudukan
Jumlah penduduk di Jakarta
sekitar 7.512.323 (2006) namun pada siang hari, angka tersebut akan bertambah
seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang,
Bogor, dan Depok. Kota/kabupaten yang paling padat penduduknya adalah Jakarta
Timur dengan 2.131.341 penduduk, sementara Kepulauan Seribu adalah kabupaten
dengan paling sedikit penduduk, yaitu 19.545 jiwa.
Agama
Grafik pembagian relatif kaum
beragama di Jakarta pada tahun 2005
Agama yang dianut oleh penduduk
DKI Jakarta beragam.
Menurut data pemerintah DKI pada
tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalah sebagai berikut:
• Islam
83 %
• Kristen
Protestan 6,2 %
• Katolik
5,7 %
• Hindu
1,2 %
• Buddha
3,5 %
Jumlah umat Buddha terlihat agak
besar mungkin karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Menurut data
Robert Cribb[8] pada tahun 1980 jumlah penganut agama ini secara relatif adalah
sebagai berikut:
• Islam
84,4%
• Protestan
6,3%
• Katolik
2,9%
• Hindu
dan Buddha 5,7%
• Tidak
beragama 0,3%
Masih menurut Cribb, pada tahun
1971 penganut agama Kong Hu Cu secara relatif adalah 1,7%. Sensus penduduk
Indonesia tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui
pemerintah.
Berbagai tempat peribadatan
agama-agama dunia dapat dijumpai di Jakarta. Masjid dan musala, sebagai rumah
ibadah umat Islam, tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan sangat mungkin di
setiap kelurahan. Masjid terbesar adalah masjid nasional, Masjid Istiqlal, yang
terletak di Lapangan Banteng. Di seberangnya terletak Gereja Katedral Jakarta.
Masih dalam lingkungan di dekatnya terdapat bangunan Gereja Imanuel bagi umat
Kristen Protestan.
Sejumlah masjid penting lain
adalah Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Masjid At Tin
di Jakarta Timur, dan Masjid Sunda Kelapa di Menteng, Jakarta Pusat.
Di Jakarta terdapat pula pura di
Rawamangun dengan nama Pura Adhitya Jaya, sebagai pura pusat bagi bagi umat
Hindu Dharma yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Bagi umat Buddha terdapat
Vihara Dhammacakka Jaya di Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara|Sunter,
Vihara Theravada Buddha Sasana di Kelapa Gading, dan Vihara Silaparamitha di
Cipinang Jaya. Sedangkan bagi penganut Konghucu Kelenteng Jin Tek Yin. Jakarta
juga memiliki satu sinagoga yang digunakan oleh pekerja asing Yahudi.
Pemerintahan
Dasar hukum bagi DKI Jakarta
adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007, tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia. UU ini menggantikan UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta
serta UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota
Negara Republik Indonesia Jakarta yang keduanya tidak berlaku lagi.
Jakarta berstatus setingkat
provinsi dan dipimpin oleh seorang gubernur. Berbeda dengan provinsi lainnya,
Jakarta hanya memiliki pembagian di bawahnya berupa kota administratif dan
kabupaten administratif, yang berarti tidak memiliki perwakilan rakyat
tersendiri. Dengan demikian, DKI Jakarta hanya memiliki DPRD Provinsi dan tidak
memiliki DPRD Kabupaten/Kota.